Cilegon, CNO – Kejaksaan Agung menyatakan segara menaikkan status perkara dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan pabrik blast furnace PT Krakatau Steel ke tahap penyidikan.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung Supardi mengaku sudah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menentukan potensi kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut.
“Yang jelas kami sudah ke BPKP, semacam sudah ada kesepakatan clear akan naik ke penyidikan. Jadi kami sudah ada diskusi, sudah clear,” kata Supardi dikutip dari Tempo.
Saat ini menurut Supardi, proses hukum terhadap perkara dugaan korupsi PT Krakatau Steel masih dalam tahap penyidikan. Penyidik telah menemukan adanya peristiwa pidana, sehingga dalam waktu dekat akan ditingkatkan ke tahap penyidikan umum.
Koordinasi yang telah dilakukan penyidik Jampidsus dengan BPKP, membuat peluang Kejagung untuk menentukan kerugian riil proyek tersebut semakin terbuka. Dan dalam waktu dekat, Kejagung akan mengumumkan jumlah kerugian negara dalam proyek itu.
Sebelumnya dalam konferensi pers pada Kamis (24 Februari 2022) lalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan, proyek pembangunan pabrik blast furnace dilaksanakan oleh Konsorsium MCC CERI (asal China) dan PT Krakatau Engineering.
Hal ini didapat sesuai hasil lelang tanggal 31 Maret 2011 dengan nilai kontrak setelah mengalami perubahan adalah Rp6,92 triliun. Kontrak tersebut telah dibayarkan ke pemenang lelang senilai Rp5,3 triliun.
Dalam perjalanannya, pekerjaan tersebut kemudian dihentikan pada 19 Desember 2019 padahal belum 100 persen. Setelah dilakukan uji coba operasi, biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar.
Selain itu, pekerjaan sampai saat ini belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi.
Pembangunan pabrik blast furnace itu rencananya untuk menekan biaya produksi agar produk PT Krakatau Steel dapat bersaing di pasaran, dengan digunakannya batu bara sebagai bahan bakar.
Nyatanya pabrik telah dibangun dan bahan bakar produksinya menggunakan gas.
Menurut Supardi, pabrik peleburan tersebut tidak bisa dioperasikan karena akan mengeluarkan biaya tinggi. “Tidak bisa beroperasi, kalau dipakai high cost tidak bisa bersaing,” ujarnya.
(*Fer/Red)