Jakarta, CNO – Kejaksaan Agung (kejagung) saat ini sedang melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan pabrik Blast Furnace PT Krakatau Steel (Persero) pada periode 2011 hingga 2019.
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan pengusutan kasus tersebut dilakukan berdasarkan surat perintah penyelidikan yang diterbitkan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Nomor: Print-22/F.2/Fd.1/10/2021 tertanggal 29 Oktober 2021.
“Di mana PT Karakatau Steel membangun Pabrik Blast Furnace (BF) dengan menggunakan bahan bakar batubara agar biaya produksi lebih murah,” kata Burhanuddin dalam konferensi pers di Kejagung, yang disiarkan langsung di Kanal Youtube Kejagung, Kamis (24 Februari 2022).
Saat ini, kata dia, kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan. Namun Burhanuddin memastikan bahwa penyidik akan segera meningkatkan status penanganan perkara dugaan korupsi PT Krakatau Steel menjadi penyidikan.
“Dalam penyelidikan kasus tersebut penyelidik telah menemukan peristiwa pidana. Oleh karena itu dalam waktu yang tidak terlalu lama kasus tersebut akan ditingkatkan penanganannya ke tahap penyidikan umum,” ucap dia.
Ia menyebut, pabrik tersebut akan berproduksi menggunakan bahan bakar batu bara yang lebih murah dibanding bahan bakar gas yang memerlukan biaya lebih mahal. Dalam hal ini, proyek pembangunan pabrik itu dilakukan untuk memajukan industri baja nasional.
Burhanudin menyebut, proyek tersebut digarap oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering. Pada 31 Maret 2011 hasil lelang kontrak itu disepakati bernilai Rp6,9 triliun dan dilakukan pembayaran kepada pihak pemenang lelang senilai Rp5,35 triliun.
“Namun demikian, pekerjaan kemudian dihentikan pada tanggal 19 Desember 2019,” jelasnya.
Menurut Burhanuddin, pekerjaan proyek tersebut belum rampung 100 persen saat dihentikan. Namun, telah dilakukan uji coba operasi dengan biaya produksi yang lebih besar dari harga baja di pasar.
Selain itu, kata dia, sampai saat ini proyek tersebut belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi.
“Oleh karena itu, peristiwa pidana tersebut dapat menimbulkan kerugian keuangan negara, dan sampai saat ini mangkrak, tidak dapat digunakan,” katanya.
Burhanudin mengaku, pihaknya saat ini telah meminta keterangan terhadap kurang lebih 50 orang saksi. Tim penyelidik juga telah meminta keterangan dari sejumlah ahli diantaranya Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan (PPATK) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
“Siapa yang akan menjadi tersangkanya adalah orang yang paling bertanggung jawab atas penanganan proyek tersebut,” tutur Burhanudin.
(*Fer/Red)