Cilegon, CNO – Tahun ini peringatan peristiwa perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa, langsung ke Sidratulmuntaha untuk menerima perintah salat lima waktu atau lebih dikenal dengan Isra Mikraj jatuh pada 28 Februari 2022.
Sering dijumpai, banyak diantara masyarakat Indonesia yang menulis kosakata tersebut berbeda satu dengan lainnya. Beberapa penulisan yang sering ditemukan diantaranya: Isra’ Mi’raj, Israk Mikraj, Isra Mi’raj, Isra Miraj, dan Isra Mikraj.
Tampaknya penulisan kosakata dan istilah yang bersumber dari Bahasa Arab masih banyak yang salah kaprah. Perlu diketahui, berdasarkan penelusuran di Kamus Besar Bahasa Indoesia (KBBI) versi daring, penulisan yang tepat untuk kata tersebut adalah Isra Mikraj. Jadi, bentuk inilah yang baku.
Namun mungkin ada sebagian yang bertanya-tanya, mengapa bentuk itu yang dipilih, bukan yang lain? Mengingat Isra Mikraj berasal dari bahasa asing (Arab), berdasarkan Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUBI) disebutkan bahwa pemadanan istilah asing ke dalam Bahasa Indonesia dilakukan lewat tiga cara: penerjemahan, penyerapan, atau gabungan penerjemahan dan penyerapan.
Melihat bentuknya, dapat dipastikan bahwa Isra Mikraj merupakan istilah serapan. Persoalan utama dalam penyerapan kosakata yang berasal dari bahasa Arab adalah keberadaan beberapa bunyi huruf bahasa Arab yang tidak memiliki tandem dalam bahasa Indonesia. Ini memaksa penggunaan fonem yang lazim dalam bahasa Indonesia untuk mewakili bunyi-bunyi huruf tersebut.
Dalam contoh pembahasaan ini, bunyi huruf tersebut adalah ‘ayn ( ع ) dan hamzah ( ء ) terutama ketika berada pada posisi tengah dan akhir kata. Selain itu, keberadaan vokal panjang di tengah kedua kata tersebut juga memaksa penyesuaian, karena bahasa Indonesia tidak mengenal vokal panjang.
Itu tadi penulisan yang tepat untuk kata Isra Mikraj. Lebih detail mengenai pedoman penggunaan huruf Arab dapat disimak di buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) versi digital yang dapat dilihat disini.
(*Fer/Red)