Cilegon, CNO – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Cilegon didesak untuk mengusut dugaan politik uang berupa pembagian sembako kepada korban banjir di Cilegon.
Adalah Badan Pekerja Jaringan Rakyat untuk Demokrasi dan Pemilu (JRDP) Kota Cilegon yang meminta agar pembagian sembako oleh sejumlah tim pemenangan pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota diusut.
Koordinator JRDP Kota Cilegon, Rizki Putra Sandika mengatakan apapun dalih memberi bantuan kepada korban banjir tersebut, faktanya saat ini masih dalam tahap kampanye.
Rizki mengungkapkan, berdasarkan temuan di lapangan, korban banjir yang mendapat bantuan mengakui adanya ajakan memilih kandidat tertentu dari pihak yang memberi bantuan.
“Jadi akan sangat ironis jika nanti para korban banjir penerima bantuan itu kemudian menjadi terperiksa dalam kasus politik uang,” kata Rizki Putra Sandika, Jumat (4 Desember 2020).
Dia juga mengungkapkan, JRDP akan membawa beberapa petunjuk berupa foto, video, postingan medsos dan pengakuan penerima sembako, sebagai bahan laporan resmi kepada Bawaslu Kota Cilegon.
“Bagi kami pemberian bantuan bagi korban banjir itu adalah praktik politik uang yang nyata. Agak heran dan janggal kalau nanti Bawaslu tidak menemukan unsur pidana,” ujarnya.
Sedangkan Koordinator Umum JRDP Banten Ade Buhori menambahkan, yang terjadi di Kota Cilegon itu bisa dimaknai sebagai kelemahan Bawaslu dalam melakukan pencegahan.
Menurut Ade, Bawaslu harusnya aktif melakukan sosialisasi tentang apa dan bagaimana politik uang itu, baik kepada kandidat maupun kepada pemilih.
Ade juga mengatakan, selama ini JRDP belum pernah melihat Bawaslu Kota Cilegon melakukan sosialisasi aturan main pilkada kepada kandidat maupun masyarakat baik dalam bentuk tatap muka ataupun daring.
“Bawaslu harus mampu menuntaskan kasus ini secara obyektif dan profesional. Kami juga mengimbau kepada para kandidat untuk tidak mempengaruhi Bawaslu dalam menangani kasus ini,” kata Ade.
Perlu diketahui, Berdasarkan Pasal 187A Ayat 1, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.
“Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat 1,” demikian bunyi ayat 2 pasal 187A undang-undang tersebut.
Berdasarkan 2 ayat tersebut dapat disimpulkan, pemberi maupun penerima dikenakan pasal pidana yang sama yaitu dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
(*Fer/Red)
Iyh