Cilegon, CNO – Pengamat politik Deden Fachruddin Radjab mengatakan, selama ini pelaksana Pilkada Kota Cilegon memiliki rasa seperti demokrasi banci dan banci demokrasi.
Dijelaskan olehnya, banci demokrasi itu seperti tidak memiliki kelamin yang jelas atau saru yang dilakukan oleh para kader partai politik. Banci demokrasi, menurutnya hanya mengaku demokrasi tetapi tidak memberi peluang kepada seluruh elemen masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses tahapan berdemokrasi, terlebih saat pilkada.
“Katanya demokrasi, tapi yang maju hanya dari lingkaran kekuasaan atau para punya modal. Biasanya terdiri dari anak, mantu, istri, ponakan, ipar, keluarga besarnya saja. Sedangkan orang luar yang punya modal besar, untuk saling jegal menjegal sudah menjadi rahasia umum,” kata Deden, Jumat (27 November 2020).
Deden mencontohkan, ada politisi yang pernah menjadi terpidana dan pernah merasakan jeruji penjara kasus korupsi, tapi keluarganya masih berani mencalonkan diri di pilkada. Inilah yang dimaksud Deden dengan demokrasi banci karena tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang benar.
“Biasanya ada anggota keluarga yang kemudian didorong untuk maju dan dengan percaya diri berkampanye. Semua yang dilakukan atas nama kesejahteraan rakyat dan anti korupsi, wes angel temen tuturane,” katanya.
Sementara itu, banci demokrasi yang dimaksud Deden adalah politikus yang senang dengan pencitraan karena sebenarnya mereka tidak punya kemampuan.
“Mereka merias diri sedemikian rupa dan bersolek, maka terlihatnya seperti cantik. Padahal sebenarnya tidak dan itu banyak dilakukan politisi, baik yang belum menjabat, bahkan sampai yang sudah menjabat,” kata Deden.
Padahal menurutnya, demokrasi yang diharapkan bisa membawa kesejahteraan masyarakat ternyata nol besar, apalagi jika itu masih dibawa dalam pelaksanaan Pilkada Kota Cilegon saat ini.
“Harapannya dengan pemilihan langsung kepala daerah, bisa lahir para calon pemimpin yang baik, amanah, istiqomah, tabilgh dan sidiq tetapi semua jauh sekali. Justru yang terlahir banyak pejabat yang terjerat pidana terutama korupsi,” kata Deden.
Deden memperkirakan, di Pilkada Kota Cilegon ada arus dukungan yang berubah. Masyarakat yang sudah jenuh dengan partai politik akan melirik pada paslon dari jalur independen.
“Cilegon memiliki rekam jejak wali kota sebelumnya melakukan tindakan korupsi. Apalagi saat ini terlihat bahwa paslon dari jalur independen memiliki perlawanan yang kuat kepada petahana,” tuturnya.
Dia menilai, paslon nomor 1 dari jalur perseorangan memiliki nilai lebih di mata masyarakat. Calon Wali Kota Ali Mujahidin adalah seorang tokoh muda yang banyak dikenal orang dan wakilnya Firman Mutakin merupakan artis terkenal.
Menurutnya, paslon perseorangan tidak ada kontrak politik apalagi mahar atau kepentingan elit politik. Kika menang maka berurusan langsung dengan masyarakat yang memilihnya.
“Paslon independen adalah sosok pemuda yang potensial untuk bisa menarik masa, simbol perlawanan dan perubahan menuju demokrasi yang seharunya. Saat ini, terpenting adalah menyampaikan edukasi perubahan,” katanya.
Muncul dengan nama Paslon Mulia, menurut Deden pasangan ini pun mudah untuk dikenali. Apalagi didukunga dengan jargon “Dinasti Korupsi Harus Terhenti!” menjadi kritik keras, sekaligus memiliki makna perubahan yang kuat.
Ditambahkan juga olehnya, Pilkada Kota Cilegon saat ini paling cocok adalah membawa isu perubahan. Perubahan bisa dilakukan jika edukasi politik masyarakat bagus, tidak terjebak oleh janji-janji politik apalagi politik uang.
“Satu suara itu penting. Serangan fajar itu tidak ada artinya. Sembako dan uang itu cuma dinikmati sementara,” kata Deden.
Diyakininya, perubahan dengan pemimpin baru bisa memberi kesempatan untuk berbuat dan berbenah mengurus Kota Cilegon lebih baik. Selama 5 tahun kedepan akan banyak yang dilakukan untuk mencapai kesejahteran masyarakat yang selama ini belum tercapai.
“Banyak juga paslon independen yang sukses membangun daerahnya hingga dua periode. Cilegon pasti bisa,” ucapnya.
(*Sap/Red)