Banjarmasin, CNO – Derasnya arus kebebasan di media sosial (medsos) menjadi permasalahan utama yang dihadapi wartawan saat ini.
Belum adanya regulasi secara jelas dalam menggunakan mendsos, semakin menambah berat permasalahan yang dihadapi wartawan.
Demikian dikatakan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal S Depari, saat peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Banjarmasin, Minggu 9 Februari 2020.
Atal menyebut, tidak pernah terprediksi atas apa yang terjadi dalam 10 tahun terakhir sehingga tantangan yang dihadapi dunia pers semakin berat dan sulit.
Setelah adanya industri digital yang cenderung bebas, menurut Atal, maka kedepan perlu ada regulasi terkait kebebasan medsos saat ini.
“Sekarang ini mainstream media, katakanlah koran, tv, radio dan online, dia harus membuat produk dengan undang-undang. Dia harus membuat produk sesuai kode etik, dia mendapat iklan harus bayar pajak,” katanya.
Tapi hal demikian tidak terjadi terhadap media sosial. Menurutnya,
media sosial telah merongrong pers seenaknya sehingga pemerintah harus membuat regulasinya.
“Dia tidak menggaji wartawan, dia juga iklannya 75 persen dikuasai medsos, ga bayar pajak. Nah itu yang saya minta, harusnya dibuat aturan undang-undang,” ujar Atal.
Akibat minimnya regulasi, media sosial disebut Atal membawa gerbong epidemik hoaks, tak hanya di tingkat nasional, tapi sudah global.
Oleh karena itu, Atal meminta persoalan regulasi harus segera diatasi. Jika tidak, informasi yang beredar akan cendrung gamang, karena dominasi ketidakteraturan media sosial saat ini.
“Pemerintah perlu membentuk regulasi terkait persaingan usaha dan bisnis media yang sehat,” ujarnya.
Aturan tersebut, menurut Atal, harus lebih adil dalam kaitannya perpajakan terkait fungsi media dan pemerintah harus melindungi bisnis media.
“Kami berharap pemerintah meluncurkan komitmennya melindungi dan memastikan keberlanjutan media massa nasional dan lokal,” pintanya.
(*Sap/Red)