BERSATU kita teguh, bercerai kita runtuh. Peribahasa ini memiliki makna yakni sesuatu akan berhasil apabila dikerjakan bergotong-royong (bersama-sama). Gus Dur sewaktu menjadi presiden Republik Indonesia pernah bilang bahwa “Bersatu tidak selamanya harus berkumpul”. Pernyataan itu disampaikan ketika Gus Dur mau meninggalkan forum diskusi pada sebuah acara, sehingga harus berpisah dengan teman-teman audien.
Kata-kata itu sederhana, tapi secara sosiologis dan strategis memiliki makna yang luas dan dalam. Ya, berkumpul dan bersatu memang dua hal yang berbeda meski kelihatan saling berhubungan. Orang yang berkumpul tidak mesti bersatu. Banyak contoh orang berkumpul tapi tidak bersatu. Misalnya, orang berjudi. Mereka berkumpul dalam satu meja tapi tidak bersatu, mereka berusaha saling mengalahkan agar bisa mengambil keuntungan dari pihak lain.
Demikian sebaliknya, kadang kita harus berpisah untuk tetap bisa bersatu. Misalnya para pejuang yang dituntut harus berpisah dengan keluarga, kerabat dan sahabat demi mempertahankan dan menjaga persatuan diantara mereka. Meski secara fisik mereka tidak berkumpul, terpisahkan jarak, namun mereka tetap bersatu dalam ikatan tekad, cita-cita, komitmen dan rasa yang menautkan hati dan jiwa .
Berkumpul terkait dengan aspek fisik (badaniah), sementara bersatu terkait dengan aspek rasa, jiwa dan hati (ruhaniyah) yang direfleksikan dalam tekad, cita-cita dan komitmen.
Seseorang yang berjiwa besar, memiliki cita-cita besar akan semakin mudah untuk bersatu, baik berkumpul maupun tidak. Karena jiwa dan cita-citanya telah melampaui kondisi fisik. Seorang politisi, pebisnis dan pemimpin masyarakat akan dengan mudah membangun persatuan meski mereka tidak saling berkumpul. Mereka saling bisa memahami dan menyesuaikan diri meski terhalang jarak, karena mereka bersatu.
Demikian sebaliknya, meskipun mereka berada dalam satu partai, satu komisi, satu organisasi dan satu kelompok bisnis, jika jiwa mereka kerdil dan sempit maka akan mudah pecah, sehingga sulit bersatu. Meski mereka berkumpul setiap hari, namun mereka tidak bersatu karena hati dan jiwa mereka tidak bersatu. Justru mereka saling menikam, saling memangsa dan saling menjatuhkan meski berkumpul dalam tempat dan wadah yang sama.
Bersatu Melawan Corona
Sampai saat ini Virus Corona yang melanda Wuhan China Desember tahun lalu, kini telah menyebar ke seluruh dunia. Tak terkecuali Indonesia dan telah banyak korban yang terjangkit virus ini. Hal ini membuat banyak pihak berjibaku berupaya melawannya.
Ada sementara orang yang mengatakan virus ini adalah tentara Allah. Sebagaimana dijelaskan Prof. Quraish Shihab, beliau tidak sependapat dengan pernyataan tersebut. Baik dalam Al-Qur’an maupun hadis, wabah yang disebabkan oleh virus ini merupakan ulah setan. Dalam hal ini, beliau menginterpretasikan setan dengan virus. Sebagaimana sifatnya yang tidak terlihat. Sejalan dengan para pakar yang mengatakan bahwa setan adalah sesuatu yang berkonotasi negatif. Dalam hal ini, setan dapat kita pahami sebagai sesuatu yang menyebabkan manusia terjerumus dalam kesengsaraan, wujudnya bisa berupa kemalasan, penyakit, dan lain-lain.
Sementara di dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa setan adalah musuh bagi manusia dan diperintahkan untuk diperangi. Jika demikian, maka memerangi virus sama juga memerangi setan. Sehingga, dalam konteks ini, memerangi virus menjadi sarana jihad bagi kita.
Seorang dokter dan tenaga medis berjihad dengan berjibaku menolong pasien dan orang-orang yang masih dalam tahapan ODP (Orang dalam Pengawasan) dan PDP (Pasien dalam Pengawasan). Pemerintah dengan segala upayanya memastikan wabah ini tidak menyebar dan menjangkit seluruh rakyatnya. Lantas, bagaimana jihad kita sebagai rakyat biasa?
Jihad yang dapat kita lakukan saat ini adalah mentaati aturan pemerintah sebagai ulil amri. Analogi peperangannya, jika pemerintah adalah panglima perangnya, kita tidak boleh membelot dari strategi yang direncanakan. Karena itu dapat membahayakan, bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga stabilitas pertahanan tim.
Semua hal yang dapat dijadikan upaya untuk menghalau musuh (virus) adalah bagian dari upaya jihad di jalan Allah. Sebab, sebagaimana yang dinyatakan Prof. Quraish Shihab, bahwa jihad (perang) pada masa Nabi adalah memerangi kaum yang memerangi Nabi menyebarkan ajaran Islam, maka perang saat ini adalah melawan kebodohan, kemisikinan, dan penyakit.
Kita tentu dapat berkaca dari Wuhan, China, tempat virus ini pertama muncul. Memang banyak juga yang menyalahkan dan menghujat mereka karena banyak hal. Misalnya, pola hidup dan pola makan yang memakan segala, dan sebagainya. Namun terbukti hari ini kasus terinfeksi di China berangsur-angsur hilang
Dengan demikian, maka perang melawan virus adalah bagian dari jihad. Jika mati dalam upaya melawannya, maka insyaallah akan dicatat sebagai seorang syahid. Sebagaimana sabda Nabi yang kira-kira artinya, ‘Siapa saja yang mati karena terserang tha’un (wabah virus), maka ia dicatat sebagai seorang syahid’. Tentu saja sabda tersebut lahir ketika seseorang sudah berusaha menghalaunya, bukan menyerahkan diri tanpa adanya usaha.
Menghadapi penyebaran wabah virus Corona saat ini, penulis jadi teringat pernyataan Gus Dur mengenai berkumpul dan bersatu. Ketika ada anjuran menjaga jarak fisik (physical distance) dan menghindari kerumunan untuk melawan penyebaran wabah Corona, maka sebenarnya hal ini sama sekali tidak terkait dengan persatuan. Anjuran jaga jarak dan hindari kerumunan justru bisa menjadi indikator mengukur soliditas masyarakat.
Dalam masyarakat yang solid, penyebaran wabah Covid-19 yang membuat mereka tidak berkumpul justru melahirkan berbagai gerakan yang memperkuat persatuan di antara mereka. Hal ini terlihat dari munculnya para relawan, tenaga medis dan berbagai gerakan kemanusiaan lainnya yang melakukan berbagai kegiatan melawan virus Corona secara bersama-sama, meski mereka tidak berkumpul.
Sebaliknya, dalam masyarakat yang retak, tidak bersatu (fragile) maka akan menjadikan ancaman wabah Corona sebagai sarana mengambil keuntungan material dan politik untuk memenuhi kepentingannya. Bahkan mereka tidak segan-segan mengeksploitasi semangat berkumpul masyarakat demi ambisi pribadi. Mereka melakukan propaganda bahwa berkumpul adalah sesuatu yang penting untuk menjaga persatuan dan syiar agama sehingga harus dipertahankan meski harus mananggung risiko tertular penyakit.
Maka inilah saatnya kita melakukan strategi berpisah/tidak berkumpul namun tetap bersatu dalam menghadapi penyebaran wabah Corona. Rasanya sudah sekian lama kita berkumpul dan berkerumun namun ternyata tidak bersatu. Karena banyak di antara kita yang justru saling mencaci dan menghujat dalam kerumunan yang sama. Barangkali dengan adanya virus Corona yang memaksa kita berjarak secara fisik dan menghindari kerumunan ini bisa menjadi momentum untuk melakukan muhasabah dan tafakkur setelah kita disibukkan dalam kerumunan yang justru membuat kita terasing.
*) Pegawai Sekretariat DPRD Cilegon dan ketua Yayasan sahabat Mandiri Al Bantani