HARI PEMUNGUTAN dan penghitungan suara Pilkada 2020 yang dihelat di 270 daerah di Indonesia, Rabu 9 Desember 2020, akan bertepatan dengan pagelaran Hari Anti Korupsi Sedunia. Jelas sebuah kebetulan yang unik dan penuh makna. Lantas berapa kepala daerah yang merupakan produk dari pilkada yang pernah terjerat kasus korupsi?
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, sepanjang tahun 2005 hingga tahun 2019 atau sejak kepala daerah dipilih langsung melalui mekanisme pilkada, sebanyak 300 kepala daerah terjerat perkara korupsi. Sebanyak 128 kasus ditangani oleh KPK.
Korelasi kejahatan korupsi dan pilkada sangat lekat karena produk pilkada seperti gubernur, bupati dan wali kota adalah profesi yang sangat potensial untuk melakukan korupsi.
Korupsi dan pilkada atau pemilu memiliki keterkaitan langsung yang disebakan banyak faktor di antaranya cost politic dalam pilkada yang sangat tinggi. Cost politic yang dimaksud meliputi pengeluaran biaya pilkada yang legal (biaya kampanye) dan biaya pilkada illegal seperti money politic, mahar parpol, suap penyelenggara bahkan untuk suap aparat penegak hukum. Cost politic tinggi inilah yang kemudian menjadi pemicu kepala daerah untuk melakukan korupsi.
Karena itu momen Pilkada 2020 harus dimaknai sebagai pertanda alam yang ingin memberikan warning kepada masyarakat tentang bahaya laten korupsi. Korelasi kejahatan korupsi dan pilkada sangat lekat karena produk pilkada seperti gubernur, bupati dan wali kota adalah profesi yang sangat potensial untuk melakukan korupsi.
Untuk itu masyarakat harus melakukan screening yang ketat kepada calon-calon kepala daerah yang akan dipilih. Screening bisa dilakukan dengan cara memahami rekam jejak calon sehingga produk pilkada bisa meminimalisir potensi korupsi bagi kepala daerah. Masyarakat yang harus cerdas karena sistem kita tidak melakukan filter yang kuat terhadap kemungkinan produk pilkada akan berakhir pada masalah korupsi. Momentum Hari Anti Korupsi Sedunia yang akan diperingati bertepatan dengan hari pencobolosan pilkada harus relevan dengan komitmen masyarakat dalam memberantas korupsi.
Faktor lain, dampak dari konflik kepentingan antara kepala daerah dengan para cukong sehingga dimensi kekuasaan tidak lagi menjadi ruang publik tapi privat. Konflik kepentingan itu akan terjadi apabila status kepala daerah memiliki keterikatan dengan pelaku-pelaku bisnis. Para cukong inilah yang akan menjadi pengendali ruang kekuasaan sehingga kepala daerah rawan untuk korupsi.
Kepada penyelenggara pemilu, utamanya KPU dan Bawaslu, serta seluruh aparaturnya di daerah, kami juga mendesak untuk lebih hati-hati dalam mengelola anggaran pilkada agar tidak terjadi permasalahan hukum di kemudian hari. Menteri Keuangan pada akhir September lalu menyebutkan, anggaran pilkada 2020 adalah sebesar Rp 20,46 triliun. Setiap satu sen penggunaan dana itu, jelas harus dapat dipertanggung jawabkan oleh KPU dan Bawaslu.
Akhirnya dapat disimpulkan, pilkada kali ini menjadi momen bagi semua pihak untuk sadar akan korupsi. Pemilih harus mampu mengkonsolidasikan diri baik secara personal maupun kolektif, untuk menolak sekuat tenaga praktek politik uang, apapun dalih dan bentuknya. Penyelenggara pemilu juga demikian. Jangan sampai memanfaatkan situasi darurat kesehatan ini sebagai kelonggaran untuk mensiasati anggaran. Terlebih kandidat. Baik yang diusung parpol maupun kandidat perseorangan. Kepada elit politik, JRDP hanya sanggup mengingatkan bahwa komitmen dan perilaku mereka harus benar-benar mencerminkan praktek yang jauh dari tindak pidana korupsi.
Kepada pemilih, di Kabupaten Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Pandeglang, dan Kota Tangerang Selatan, kami anjurkan untuk dapat menggunakan hak pilih di bilik TPS besok. Jangan lupa terapkan protokol kesehatan. Gunakan masker ke TPS, hindari kerumunan, serta jangan lupa mencuci tangan. Bulatkan tekad untuk memilih kandidat yang tidak memiliki potensi untuk melakukan tindak pidana korupsi. Selamat mencoblos. (***)
Penulis adalah Koordinator Umum Jaringan Rakyat untuk Demokrasi dan Pemilu (JRDP)