Cilegon, CNO – Pengamat politik Deden Fachruddin Radjab menilai, debat publik calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon putaran kedua masih jauh dari harapan masyarakat.
Deden menilai, pertanyaan dan jawaban yang dilontarkan sebagian besar pasangan calon masih sebatas normatif belaka.
“Belum fokus kepada permasalahan Kota Cilegon dan masyarakat. Itu terlihat dari jawaban-jawaban yang diberikan sebagian besar Paslon. Hanya Paslon nomor satu yang terlihat berbeda,” kata pria yang pernah menjabat Komisioner KPU Kota Jakarta Timur, Minggu (29 November 2020).
Ia mengatakan, sejatinya debat publik adalah etalase unjuk kemampuan dari para paslon dalam rangka menyampaikan visi-misi dan program kerja apabila terpilih menjadi pemimpin di Kota Cilegon. Sebagai pengamat, Deden melihat hasil debat harus obyektif, walau mungkin secara sisi manusiawi tetap ada sisi subyektifnya.
“Dimulai dari paslon satu jalur independen, terlihat lebih fokus dengan jawaban-jawaban atas pertanyaan dari paslon-paslon lainnya. Menjawab dengan merinci setiap masalah, kemudian diakhiri dengan solusi,” kata Deden.
Ia mencontohkan, seperti dalam menjawab pertanyaan mengenai dana bansos yang selama ini dianggap tumpang tindih. Ia mengatakan, Ali Mujahidin (Mumu) terlihat visioner lantaran mensinkronkan big data dari semua dinas.
“Mereka yang menerima dana bansos adalah orang-orang yang benar berhak juga hasil sinkronisasi big data tersebut bisa digunakan untuk seluruh pelayanan kepada masyarakat dan bekerjasama dengan stake holder,” kata Deden mengulang kalimat Mumu saat debat.
Hanya saja Deden menyayangkan, Mumu kurang penegasan bahwa sinkronisasi big data tersebut melalui NIK sebagai one singel identity. Meski begitu, apa yang disampaikan merupakan bagian dari solusi tepat atas permasalahan yang sering terjadi dan ketidakmerataan dalam pembagian bansos ke masyarakat.
“Di sesi yang berbeda, saat menjawab masalah mengatasi banjir, Haji Ali Mujahidin kembali menjawab dengan cerdas. Mengatasi banjir itu harus dilihat dari berbagai aspek sehingga mengatasinya dan penanganannya pun harus berbeda,” ujarnya.
“Seperti daerah tertentu dilakukan dengan pengerukan sungai dan ditempat lain dilakukan pembuatan sumur resapan atau di daerah yangg lain dibuat talut penahan banjir rob, daerah lain bisa dibangun DAM,” kata Deden.
Deden mengakui dalam debat putaran terakhir ini pasangan Mulia lebih unggul dalam memahami dan menjawab semua permasalahan disertai solusi. Program rolas karse dalam program kerja dijadikan dasar untuk menjawab selama debat dan membuktikan bahwa ada keseriusan dalam menyusun visi dan misi.
Sedangkan Deden mengaku kecewa dengan paslon petahana karena kurang greget dalam bertanya maupun menjawab pertanyaan. Padahal sebagai incumbent seharusnya sudah lebih menguasai setiap permasalahan yang akan diperdebatkan.
“Seperti pada saat ditanya soal penempatan ASN dan soal KKN. Seharusnya Ibu Ati dan Pak Sokhidin harus berani mengemukakan isu tuduhan yangg tertuju kepada wali kota sebelumnya yang notabene adalah keluarganya sendiri,” ujarnya.
Kata Deden, harusnya pasangan ini berani menyatakan, bila menjadi Wali Kota Cilegon maka akan melakukan reformasi birokrasi yang transparan dan akuntabel.
Ini menjadi momen paling penting untuk membuktikan bahwa dirinya tidak seperti yang dituduhkan oleh orang-orang selama ini.
Deden yakin, bila jawaban seperti itu maka akan menimbulkan simpati dan juga mungkin dapat mendapatkan kesempatan dari masyarakat untuk membuktikannya dan tidak terjadi hattrick OTT KPK.
“Sedangkan sewaktu menjawab pertanyaan parameter Cilegon Sukses, jawabannya seperti melakukan LPJ didepan anggota DPRD, karena hanya menjawab bahwa semua itu sudah dilakukan saat menjabat sebagai Wakil Wali Kota. Ibu Ati tidak menunjukkan kehebatan-kehebatan atas keberhasilan membangun Kota Cilegon. Jadi hanya sekedar formalitas dan normatif,” tutur Deden.
Beralih ke paslon nomor 3, Iye-Awab. Menurut Deden, paslon ini banyak menjawab secara retorika belum masuk dan fokus kepada materi yang ditanyakan.
“Seperti pada saat ditanya mengenai meminimalisir KKN apabila menjabat kepala daerah. Jawaban yang diberikan terlalu didominasi calon wali kota, padahal wakilnya berlatar belakang polisi yang menjabat sebagai Kasat Reskrim. Seharusnya diberi kesempatan lebih banyak untuk menjawabnya,” kata Deden.
Sebagai orang yang pernah berkecimpung di bidang penegakan hukum, menurut Deden, bisa jadi Awab akan melakukan pengawasan melekat terhadap seluruh proses administrasi dan pelayanan pemerintah Kota Cilegon, terutama dalam hal pengadaan barang dan jasa.
“Mengingat pernah sebagai polisi, Pak Awab tentu akan lebih mudah melakukan pengawasan dan pengawalan hal-hal tersebut,” kata Deden.
Sementara itu, paslon nomor 4 yang hanya dihadiri Helldy Agustian, Deden menilai hal ini tentunya kurang menguntungkan, terlihat dari jawaban-jawaban yang disampaikan terlalu normatif.
“Pak Helldy selalu menjawab dengan berpatokan bahwa semua sudah ada dalam visi misi, sehingga tidak terlihat greget bagaimana cara mengatasi problematika Kota Cilegon bila nanti menjabat wali kota,” ujarnya.
Deden menduga, karena hadir seorang diri maka bisa jadi mempengaruhi psikologis calon sehingga berdampak pada implementasi yang detail hasil penjabaran visi misi.
“Agar masyarakat tahu persis apa yang akan dilakukan secara detail pun tidak tercapai,” timpalnya.
Setelah mengikuti dua putaran debat, Deden mengatakan semua itu akan kembali kepada hati nurani dan pasion pemilih di kota Cilegon. Deden berpesan, perlu diwaspadai di 10 hari terakhir sebelum pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di TPS-TPS.
“Perlu diwaspadai kecurangan-kecurangan yang mungkin akan terjadi. Karena kecurangan itu bukan hanya ada kesempatan, tetapi kecurangan itu ada niat!” pesannya.
(*Fer/Red)